Universitas Bimus – Di tengah dinamika sosial dan ekonomi Indonesia, muncul satu fenomena yang ramai di bicarakan di kalangan mahasiswa: #KaburAjaDulu. Tagar ini viral di media sosial, menyuarakan keresahan generasi muda yang merasa “lebih aman” dan “lebih punya masa depan” jika melanjutkan hidup di luar negeri baik melalui jalur studi maupun karier.
Fenomena ini bukan hanya soal bercanda kabur dari masalah, tapi mencerminkan realita pahit yang di rasakan banyak mahasiswa saat ini. Di balik niat hijrah itu, ada sederet alasan kuat yang patut di pahami lebih dalam.
Apa Itu #KaburAjaDulu?
Awalnya, tagar #KaburAjaDulu digunakan sebagai bentuk ekspresi satir. Namun seiring berjalannya waktu, maknanya berkembang menjadi simbol keinginan mahasiswa untuk migrasi ke luar negeri, baik sementara (kuliah) atau permanen (kerja dan tinggal).
Tagar ini kini digunakan secara luas dalam berbagai konteks:
-
Mahasiswa yang mengeluhkan tekanan akademik dan biaya kuliah
-
Calon lulusan yang pesimistis dengan dunia kerja lokal
-
Anak muda yang ingin mencari karier global dan lingkungan lebih mendukung
Tak sedikit yang mengaitkan fenomena ini dengan brain drain indonesia yang makin mengkhawatirkan.
Mengapa Mahasiswa Pilih “Kabur”?
1. Minimnya Peluang Karier di Dalam Negeri
Salah satu alasan utama mahasiswa memilih jalur kaburaja dulu adalah kesulitan mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia. Tingginya persaingan, rendahnya upah, dan terbatasnya kesempatan kerja di bidang sesuai jurusan mendorong mereka untuk melirik karier global mahasiswa di luar negeri.
2. Kualitas Pendidikan dan Lingkungan Belajar
Banyak mahasiswa berpendapat bahwa sistem pendidikan luar negeri lebih mendukung pengembangan potensi, kreativitas, dan berpikir kritis. Inilah mengapa studi luar negeri 2025 menjadi salah satu topik paling di cari di forum kampus dan komunitas beasiswa.
3. Infrastruktur Sosial dan Lingkungan
Bukan hanya soal uang dan pendidikan, mahasiswa juga mempertimbangkan lingkungan sosial yang lebih tertata: transportasi publik yang rapi, birokrasi transparan, serta kebebasan berpendapat yang lebih di hargai di beberapa negara.
4. Tren Sosial Media dan FOMO
Fenomena ini juga di picu oleh media sosial. Saat mahasiswa melihat teman-teman mereka berhasil mendapatkan beasiswa luar negeri atau bekerja di luar negeri dengan kehidupan yang tampak “stabil dan bahagia”, muncullah dorongan “aku juga mau”. Tag seperti generasi muda migrasi atau di aspora mahasiswa indonesia kerap muncul menyertai.
Data & Fakta Brain Drain di Indonesia
Menurut data BPS dan laporan UNESCO, Indonesia termasuk negara Asia Tenggara dengan tingkat brain drain tertinggi. Sekitar 9 dari 10 mahasiswa yang berhasil studi ke luar negeri memilih untuk tidak kembali setelah lulus.
Negara tujuan favorit:
-
Australia
-
Amerika Serikat
-
Jerman
-
Jepang
-
Malaysia & Singapura
Bidang studi paling populer:
-
IT & Data Science
-
Kesehatan
-
Engineering
-
Bisnis & Ekonomi
Tak heran jika istilah alasan mahasiswa hijrah kini menjadi kata kunci yang sering di cari di kalangan mahasiswa tingkat akhir.
Peluang dan Risiko di Balik Keputusan “Kabur”
Peluang:
-
Akses ke pendidikan terbaik di dunia
-
Gaji lebih tinggi di luar negeri
-
Pengalaman internasional yang memperkaya CV
-
Koneksi global dan networking skala dunia
Risiko:
-
Proses adaptasi yang tidak mudah
-
Rasa rindu kampung halaman dan keluarga
-
Biaya hidup tinggi dan sistem pajak yang rumit
-
Kemungkinan diskriminasi atau kesulitan imigrasi
Fenomena ini tak bisa di lihat hitam putih. Minat kuliah luar negeri adalah hal positif selama tujuannya jelas dan di lakukan dengan kesiapan mental dan finansial.
Dampak pada Indonesia
Jika terus di biarkan, brain drain dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Negara akan kehilangan talenta muda berbakat yang seharusnya bisa berkontribusi di dalam negeri. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan kampus untuk menciptakan ekosistem ramah anak muda, bukan justru membuat mereka ingin kaburaja dulu.
Suara dari Mahasiswa
“Saya ambil keputusan kuliah di luar negeri karena ingin akses ke lab dan teknologi yang nggak saya dapat di sini. Tapi bukan berarti saya nggak cinta Indonesia, saya akan kembali setelah belajar.” — Niko, mahasiswa S2 di Jerman
“Susah banget cari kerja di sini kalau bukan anak orang dalam. Jadi saya pilih kabur aja dulu ke Australia lewat program magang kampus.” — Citra, lulusan kampus negeri di Jakarta
“Paling berat itu ninggalin keluarga. Tapi kalau mau berkembang, saya harus keluar dari zona nyaman.” — Ryan, mahasiswa teknik di Jepang
Apa yang Bisa Dilakukan?
Fenomena ini bisa di jawab dengan strategi konkrit, antara lain:
-
Memperbanyak beasiswa luar negeri dengan syarat kembali dan mengabdi
-
Memperkuat kerja sama internasional antar kampus
-
Meningkatkan transparansi dan daya saing di dunia kerja dalam negeri
-
Membangun ekosistem riset dan inovasi yang menarik mahasiswa kembali
Kampus dan pemerintah juga bisa menyasar program seperti reverse brain drain, di mana mahasiswa diaspora di beri insentif untuk kembali dan membangun negeri.
FAQ Tentang Fenomena #KaburAjaDulu
Q: Apakah “kaburaja dulu” artinya menyerah?
A: Tidak selalu. Banyak mahasiswa ingin belajar lebih baik di luar, lalu kembali berkontribusi. Yang penting niat dan tujuannya jelas.
Q: Negara mana yang paling banyak di tuju mahasiswa Indonesia?
A: Saat ini Australia, Jepang, dan Amerika Serikat masih menjadi tiga besar pilihan populer.
Q: Apakah pemerintah punya solusi untuk brain drain?
A: Beberapa program seperti LPDP atau beasiswa BUMN mewajibkan penerimanya kembali dan bekerja di Indonesia.
Q: Apakah kuliah luar negeri selalu lebih baik?
A: Tidak selalu. Banyak kampus Indonesia yang sudah berstandar internasional. Kuliah luar negeri bukan tujuan, tapi alat.
Q: Bagaimana caranya mendapat beasiswa luar negeri?
A: Siapkan CV dan kemampuan bahasa asing. Banyak peluang dari Erasmus, Chevening, DAAD, MEXT, dan LPDP.