Universitas Bimus – Publik Indonesia di kejutkan oleh insiden KKN UGM di Maluku yang memakan korban jiwa. Seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di kabarkan tenggelam saat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di wilayah pesisir Maluku. Peristiwa tragis ini memicu gelombang empati sekaligus kritik dari netizen, akademisi, hingga alumni kampus ternama tersebut.
KKN UGM dan Cita-Cita Pengabdian
Sebagai salah satu program unggulan UGM, KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama ini di anggap sebagai bentuk nyata pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Sejak puluhan tahun, program ini telah menjangkau berbagai daerah pelosok di Indonesia, termasuk wilayah terpencil, perbatasan, dan daerah rawan bencana. Namun, insiden terbaru yang menimpa mahasiswa saat KKN UGM di Maluku membuka tabir risiko di balik idealisme program ini.
Kronologi Singkat Tragedi Mahasiswa Tenggelam
Berdasarkan laporan yang beredar, insiden bermula saat sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam tim KKN UGM hendak menyeberang ke lokasi kegiatan menggunakan perahu kecil. Cuaca yang memburuk dan minimnya perlengkapan keselamatan menjadi faktor utama tenggelamnya perahu. Akibatnya, satu mahasiswa dinyatakan hilang dan di temukan meninggal dunia setelah pencarian selama beberapa hari.
Reaksi Netizen: Duka, Kritik, dan Tuntutan Evaluasi
Tak butuh waktu lama, berita tragedi KKN UGM viral di berbagai platform media sosial. Tagar seperti #PrayForUGM, #EvaluasiKKN, hingga #MahasiswaTenggelam sempat merajai trending Twitter/X. Banyak netizen mengungkapkan duka mendalam, namun sebagian besar juga mempertanyakan:
-
Apakah KKN ke daerah terpencil masih relevan?
-
Sejauh mana kampus memastikan keselamatan peserta?
-
Kenapa tidak ada mitigasi risiko yang memadai?
Kritik mengalir deras terhadap sistem pelaksanaan program KKN yang dinilai terlalu idealistik, namun minim perencanaan matang terutama di wilayah rawan seperti daerah kepulauan dan pesisir.
UGM Buka Suara
Menanggapi kejadian ini, pihak UGM melalui Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran menyampaikan belasungkawa dan menyatakan akan mengevaluasi total program KKN. Dalam pernyataan resmi, UGM menyebutkan bahwa protokol keselamatan akan diperketat dan wilayah KKN dengan risiko geografis tinggi akan di tinjau ulang ke depannya.
Mahasiswa UGM: Antara Misi dan Risiko
Bagi sebagian mahasiswa, KKN adalah pengalaman tak tergantikan. Namun, kasus mahasiswa hilang saat KKN menjadi pengingat bahwa idealisme pengabdian tak boleh mengabaikan faktor keamanan. Banyak mahasiswa kini menyuarakan agar KKN berbasis digital atau lokal lebih di utamakan, dibandingkan dikirim ke daerah terpencil tanpa dukungan logistik dan medis yang memadai.
Alumni dan Akademisi Angkat Bicara
Beberapa alumni dan akademisi dari kampus besar seperti ITB, UI, dan UGM sendiri mulai menyuarakan keresahan yang sama. Salah satu dosen sosiologi UGM menyebut bahwa “Program pengabdian yang tidak menghitung risiko hanyalah retorika sosial tanpa tanggung jawab.” Banyak yang menuntut agar UGM dan kampus lain meninjau kembali esensi dari KKN: apakah benar memberi manfaat bagi masyarakat atau sekadar beban administratif tahunan bagi mahasiswa.
Tragedi yang Membuka Mata
Insiden KKN UGM di Maluku bukan hanya tragedi personal, tapi juga cermin dari sistem pendidikan tinggi Indonesia yang masih menganggap medan ekstrem sebagai “ladang pengabdian”, tanpa perhitungan matang. Peristiwa ini menjadi momentum refleksi: apakah mahasiswa harus membayar harga semahal nyawa untuk sekadar menjalankan kewajiban akademik?
Diskusi di Forum Kampus dan Media Sosial
Forum-forum online seperti Reddit Indonesia, Kaskus, hingga grup Telegram mahasiswa UGM di penuhi diskusi soal evaluasi KKN UGM 2025. Banyak yang menyarankan agar sistem seleksi lokasi KKN menggunakan standar keamanan berdasarkan indeks geografis dan infrastruktur dasar. Bahkan muncul ide agar mahasiswa bisa memilih “zona KKN” berdasarkan risiko, bukan hanya berdasarkan kuota dosen pembimbing.
Apa Solusi Idealnya?
Beberapa saran dari komunitas pendidikan antara lain:
-
KKN berbasis komunitas lokal atau wilayah domisili
-
Sistem penilaian berbasis proyek, bukan lapangan ekstrem
-
Dukungan dana lebih besar untuk transportasi dan asuransi
-
Pelatihan darurat dan mitigasi bencana sebelum KKN di mulai
-
Audit terbuka lokasi KKN oleh pihak ketiga
Langkah-langkah ini di anggap lebih realistis daripada mempertahankan sistem lama yang seringkali mengorbankan kenyamanan, keselamatan, dan bahkan nyawa mahasiswa.
Akankah KKN Tetap Bertahan?
Pertanyaan paling besar adalah: apakah KKN masih relevan di era digital? Dengan berkembangnya teknologi, pengabdian bisa di lakukan lewat program pemberdayaan berbasis online, pelatihan digital, hingga kampanye sosial berbasis konten. Tak sedikit pula yang menyarankan kolaborasi KKN dengan startup sosial atau NGO agar lebih berdampak nyata tanpa harus mengirim mahasiswa ke lokasi berisiko tinggi.