Cita-cita Setinggi Langit, Fondasi yang Masih Goyah

Bimus – Setiap kali kita bertanya pada seorang anak kecil, “Cita-citamu mau jadi apa?”, jawabannya seringkali luar biasa: dokter, insinyur, astronaut, presiden. Semangat dan impian generasi penerus bangsa ini begitu membara. Mereka adalah potensi tak terbatas yang dimiliki Indonesia. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah sistem pendidikan kita sudah cukup kuat untuk menjadi tangga bagi mereka menggapai bintang?”
Pertanyaan ini seringkali membawa kita pada sebuah ironi yang menyakitkan. Di satu sisi, kita melihat siswa-siswi Indonesia memenangkan olimpiade sains internasional. Di sisi lain, kita dihadapkan pada data dan peringkat global yang menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Topik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia seolah menjadi sebuah lagu lama yang diputar berulang-ulang: penuh masalah, tapi juga penuh harapan.
Artikel ini tidak akan hanya mengulang keluhan yang sama. Mari kita coba membedah potret ini dengan jujur, melihat tantangan nyata di lapangan, inovasi yang sedang berjalan, dan apa peran kita semua dalam membangun fondasi yang lebih kokoh untuk para pemilik cita-cita setinggi langit tersebut.
Peringkat PISA: “Tamparan” Keras yang Membuka Mata
Salah satu tolok ukur yang paling sering digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah secara global adalah PISA (Programme for International Student Assessment). Dan sayangnya, di sinilah “tamparan” keras itu seringkali mendarat.
- Cerita & Jab: Bayangkan Anda ikut sebuah kompetisi global. Anda sudah berlatih keras, tapi saat hasilnya keluar, peringkat Anda berada di jajaran bawah. Rasanya tentu mengecewakan. Inilah yang dirasakan Indonesia selama bertahun-tahun dalam survei PISA. Ini adalah “jab” halus untuk kita semua: ada sesuatu yang salah secara fundamental dalam cara kita mengajar dan belajar.
- Data & Fakta: PISA adalah survei tiga tahunan yang diselenggarakan oleh OECD untuk menguji kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun. Dalam hasil PISA 2022, skor Indonesia untuk ketiga kategori tersebut masih berada di bawah rata-rata negara OECD. Misalnya, untuk literasi membaca, Indonesia menempati peringkat bawah di antara 81 negara yang berpartisipasi.
- Wawasan & Tips: Skor PISA yang rendah bukanlah aib, melainkan sebuah diagnosis. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem kita mungkin masih terlalu fokus pada hafalan, bukan pada kemampuan analisis, penalaran, dan pemecahan masalah (critical thinking)—keterampilan yang justru paling diuji oleh PISA dan dibutuhkan di abad ke-21.
Akar Masalah yang Kompleks: Dari Kesejahteraan Guru hingga Infrastruktur
Menyalahkan siswa atau guru atas skor PISA yang rendah tentu tidak adil. Masalah kualitas pendidikan di Indonesia adalah sebuah benang kusut dengan banyak akar permasalahan yang saling terkait.
- Penjelasan: Ketimpangan adalah kata kuncinya. Kualitas pendidikan di sebuah sekolah elite di Jakarta akan sangat berbeda dengan di sekolah terpencil di pedalaman Papua.
- Data & Fakta (Beberapa Akar Masalah):
- Kesejahteraan dan Kompetensi Guru: Meskipun sudah ada program sertifikasi, kesejahteraan guru, terutama honorer, masih menjadi isu besar. Sulit mengharapkan inovasi mengajar dari guru yang masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
- Ketimpangan Infrastruktur: Kesenjangan fasilitas antara sekolah di kota besar dan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih sangat lebar. Banyak siswa di daerah masih belajar di ruang kelas yang tidak layak.
- Kurikulum yang Terlalu Padat dan Sering Berganti: “Ganti menteri, ganti kurikulum” adalah sindiran yang sering kita dengar. Perubahan yang terlalu sering tanpa sosialisasi yang matang seringkali membuat guru dan siswa kebingungan.
- Wawasan: Memperbaiki kualitas pendidikan membutuhkan pendekatan holistik yang menyentuh semua akar masalah ini secara bersamaan, bukan hanya fokus pada satu aspek saja.
Harapan Baru Bernama Kurikulum Merdeka
Sebagai respons atas berbagai tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini dirancang untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada sekolah dan guru dalam menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan dan minat siswa. Fokusnya bergeser dari “mengejar target materi” menjadi “pembelajaran yang mendalam dan berbasis proyek”. Tujuannya adalah untuk mendorong kreativitas, penalaran kritis, dan karakter—keterampilan yang diuji dalam PISA. Keberhasilan kurikulum ini akan sangat bergantung pada kesiapan dan kapasitas guru untuk berinovasi.
Di Luar Peringkat: Mutiara-Mutiara yang Tetap Bersinar
Di tengah gambaran yang suram, penting untuk tidak melupakan bahwa sistem pendidikan kita tetap berhasil melahirkan mutiara-mutiara yang bersinar terang di panggung dunia.
- Cerita & Penjelasan: Setiap tahunnya, kita selalu mendengar berita pendidikan Indonesia yang membanggakan. Tim siswa SMA Indonesia berhasil membawa pulang medali emas dari Olimpiade Fisika Internasional. Seorang mahasiswa dari universitas di Indonesia memenangkan kompetisi startup teknologi di Silicon Valley.
- Data & Fakta: Prestasi-prestasi ini menunjukkan bahwa meskipun sistemnya memiliki banyak kekurangan, potensi individu dari siswa-siswi Indonesia sangatlah luar biasa. Mereka yang memiliki akses, motivasi, dan dukungan yang tepat mampu bersaing dengan siapa pun di dunia.
- Wawasan: Keberhasilan sporadis ini adalah bukti dari potensi yang belum tergali sepenuhnya. Bayangkan jika setiap anak di Indonesia mendapatkan kesempatan dan kualitas pendidikan yang setara. Potensi ledakan talenta yang akan terjadi pasti sangat dahsyat.
Peran Kita Semua: Pendidikan Bukan Hanya Urusan Pemerintah
Meningkatkan kualitas pendidikan bukanlah tugas menteri atau pemerintah semata. Ini adalah tanggung jawab kolektif.
- Orang Tua: Berperan sebagai mitra guru, menciptakan lingkungan belajar yang mendukung di rumah, dan tidak hanya menuntut anak untuk mendapatkan peringkat satu.
- Komunitas & Sektor Swasta: Bisa berkontribusi melalui program beasiswa, magang, atau menjadi “guru tamu” untuk berbagi pengalaman dari dunia industri.
- Mahasiswa: Melalui program pengabdian masyarakat (KKN), bisa menjadi agen perubahan dan inspirasi di daerah-daerah yang membutuhkan.
Sebuah Maraton, Bukan Sprint
Potret kualitas pendidikan di Indonesia memang penuh dengan warna abu-abu. Ada tantangan besar yang mengakar, namun ada pula harapan dan prestasi yang membanggakan. Memperbaiki sistem pendidikan bukanlah lari cepat (sprint), melainkan sebuah lari maraton yang membutuhkan napas panjang, kerja sama, dan komitmen dari semua pihak.
Skor PISA boleh menjadi pengingat dan pemacu, tetapi semangat dan potensi anak-anak Indonesia adalah api yang harus terus kita jaga agar tidak padam. Pada akhirnya, investasi terbaik sebuah bangsa adalah investasi pada kualitas sumber daya manusianya. Pertanyaannya adalah, langkah nyata apa yang bisa Anda ambil, sekecil apa pun itu, untuk menjadi bagian dari solusi?




