bimus.ac.id – Bayangkan skenario ini: Waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Seorang mahasiswa tingkat akhir menatap layar laptop yang kosong, berjuang menyelesaikan Bab 1 skripsinya. Frustrasi, ia membuka tab baru, mengetikkan satu kalimat perintah ke dalam kolom chat, dan dalam hitungan detik, tiga paragraf latar belakang masalah tersaji rapi.
Apakah mahasiswa tersebut baru saja melakukan riset cerdas? Atau dia baru saja melakukan kecurangan akademik?
Dua tahun lalu, jawabannya mungkin sederhana. Namun hari ini, kehadiran Generative AI seperti ChatGPT, Claude, dan Gemini telah mengaburkan batas tegas antara “bantuan belajar” dan “ketidakjujuran intelektual”. Kampus-kampus di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kini sedang menghadapi guncangan terbesar dalam sejarah etika akademik modern.
Mendefinisikan Ulang Plagiarisme: Wilayah “Abu-Abu”
Selama bertahun-tahun, definisi plagiarisme di kampus sangat jelas: Mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.
Namun, AI menantang definisi ini. Ketika ChatGPT menulis esai, ia tidak “mengkopi” teks dari Google. Ia merangkai kata demi kata secara unik berdasarkan probabilitas algoritma. Secara teknis, teks tersebut “baru” dan tidak akan terdeteksi oleh alat cek plagiarisme konvensional.
Inilah dilemanya. Mahasiswa tidak mencuri tulisan orang lain, tetapi mereka “mengalihdayakan” (outsourcing) proses berpikir.
Jika tujuan kuliah adalah melatih kemampuan berpikir kritis dan merangkai argumen, maka membiarkan AI menulis esai adalah bentuk kegagalan pendidikan. Namun, jika tujuannya adalah efisiensi kerja, bukankah menggunakan teknologi terbaru adalah langkah yang cerdas? Perdebatan ini membelah akademisi menjadi dua kubu: mereka yang melarang total, dan mereka yang mencoba beradaptasi.
Perang Detektor: Bisakah Dosen Menangkap “Joki AI”?
Merespons fenomena ini, banyak universitas mulai menggunakan alat pendeteksi AI (AI Detectors) yang terintegrasi dalam platform seperti Turnitin. Tujuannya satu: menangkap mahasiswa yang curang.
Namun, realitas di lapangan tidak seindah teori.
-
Tingkat Akurasi yang Meragukan: Banyak alat deteksi AI sering menghasilkan false positive—menuduh tulisan asli mahasiswa sebagai buatan AI hanya karena gaya bahasanya baku dan kaku.
-
Teknik “Humanizing”: Mahasiswa kini punya trik baru, yaitu menggunakan alat paraphraser lain untuk mengubah teks AI agar terdengar lebih “manusiawi” dan lolos deteksi.
Akibatnya, hubungan dosen dan mahasiswa menjadi penuh kecurigaan. Dosen menghabiskan waktu menjadi “polisi” yang memburu bukti kecurangan, sementara mahasiswa hidup dalam ketakutan karya aslinya dituduh palsu.
Masa Depan Ujian: Kembalinya Kertas dan Pulpen?
Jika tugas esai yang dikerjakan di rumah (take-home assignment) sudah tidak bisa dipercaya lagi validitasnya, lalu bagaimana kampus menilai kemampuan mahasiswanya?
Tren menarik sedang terjadi. Beberapa universitas mulai memutar balik waktu ke metode “Old School”:
-
Ujian Tulis Tangan di Kelas: Tidak ada laptop, tidak ada HP. Hanya kertas, pulpen, dan otak. Ini adalah cara paling ampuh memastikan orisinalitas pemikiran.
-
Ujian Lisan (Viva Voce): Bobot penilaian kini bergeser. Skripsi mungkin bisa ditulis oleh AI, tapi AI tidak bisa menjawab pertanyaan kritis dosen penguji secara langsung di ruang sidang. Kemampuan mempertanggungjawabkan argumen secara lisan menjadi kunci baru kelulusan.
-
Penilaian Berbasis Proses: Dosen tidak lagi hanya menilai hasil akhir, melainkan memantau progress mingguan, draf kasar, dan sejarah revisi dokumen (Google Docs history) untuk memastikan mahasiswa benar-benar menulisnya.
Jalan Tengah: AI Sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Melarang AI di kampus ibarat melarang kalkulator di jurusan Matematika—sia-sia dan menolak kemajuan zaman. Solusi terbaik bukanlah pelarangan, melainkan regulasi.
Etika akademik baru di era AI seharusnya berbunyi: Gunakan AI untuk membantu kamu berpikir, bukan untuk menggantikan kamu berpikir.
Apa bedanya?
-
Etis: Menggunakan AI untuk brainstorming ide judul, merangkum jurnal yang panjang, atau memperbaiki grammar bahasa Inggris.
-
Tidak Etis: Meminta AI membuatkan analisis data, menulis kesimpulan, atau membuat argumen utama tanpa verifikasi.
Universitas perlu segera merilis pedoman yang jelas: kapan AI boleh digunakan dan bagaimana cara menyitasinya (mengutipnya) dalam daftar pustaka.
Gelar sarjana di masa depan tidak akan dinilai dari seberapa bagus tulisan skripsimu—karena robot pun bisa menulis bagus. Nilaimu akan ditentukan dari seberapa dalam pemahamanmu, seberapa kritis pemikiranmu, dan seberapa mampu kamu menggunakan AI untuk memecahkan masalah nyata, bukan sekadar untuk memotong jalan.
Di era ini, kejujuran akademik bukan lagi soal takut ketahuan dosen, melainkan soal menghargai proses pengembangan kapasitas otakmu sendiri. Karena saat kamu lulus nanti, AI tidak akan bisa menggantikan karakter dan integritasmu di dunia kerja.




