bimus – Yo, bray! Ada satu “kebenaran” di Indonesia yang diwariskan turun-temurun kayak resep rendang: “Masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) itu sukses. Masuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) itu… yaaa, backup.”
Akibatnya, setiap tahun, jutaan siswa stres gila-gilaan demi “perang” SNBP/SNBT. Bahkan, yang gagal lolos PTN sering ngerasa insecure, malu, atau dianggap “gagal” sama keluarga besar pas kumpul Lebaran.
Padahal, bray, mindset itu udah kuno banget. Udah basi.
Faktanya, di era sekarang, “perang” abadi PTS vs PTN itu udah nggak relevan. Bahkan, dalam banyak skenario, memilih PTS yang “tepat” bisa jadi langkah yang jauh lebih cerdas dan strategis buat karier lo daripada maksa masuk PTN di jurusan “asal-asalan”.
Jadi, sebelum lo ikutan stressing nggak jelas, mari kita bongkar tuntas mitos-mitos kuno ini.

Mitos 1: “PTS Pasti Kalah Gengsi (dan Kualitas) dari PTN”
Ini adalah mitos paling berkarat. Dulu, mungkin iya. Tapi sekarang? Coba lo pikir.
-
Siapa founder Tokopedia? William Tanuwijaya (Lulusan Binus University).
-
Siapa founder Ruangguru? Adamas Belva (Lulusan Prasetiya Mulya, S1).
-
Di mana lo bisa belajar Game Development atau Animasi dengan fasilitas sekelas studio Pixar? Di UMN atau Binus School of Design.
Kenyataannya, HRD profesional zaman sekarang udah nggak “silau” sama almamater PTN. Sebaliknya, mereka melihat portofolio dan skill praktis.
Wawasan:
-
PTN (UI, UGM, ITB): Masih jadi “dewa” untuk jurusan-jurusan fundamental yang butuh riset kuat (Kedokteran, Hukum Murni, Teknik Murni, Sastra).
-
PTS Top (Binus, Tel-U, Prasmul, UMN): Juaranya di jurusan-jurusan modern dan praktis (IT/Data Science, Bisnis Digital, DKV, Komunikasi/Event). Karena mereka nggak kaku, kurikulum mereka “dibuat” bareng industri.
Jadi, gengsinya sekarang bukan lagi “PTN atau PTS”, tapi “Lo lulusan mana yang paling nyambung sama industri?”
Mitos 2: “PTS Pasti Mahal Gila, PTN Murah Meriah”
Ini mitos yang paling bikin orang tua “alergi” sama PTS. “Swasta? Wah, siapin 500 juta!”
Padahal, ini udah blurry banget, bray.
Mari kita bedah:
-
“UKT Atas” PTN = Mahal Banget: Lo tahu UKT (Uang Kuliah Tunggal) di PTN? Memang, ada golongan 1-2 yang murah (Rp 500rb – Rp 1jt). Tapi, kalau orang tua lo dianggap “mampu”, lo bisa kena UKT golongan 7 atau 8, yang angkanya Rp 15 juta – Rp 25 juta per semester. Belum lagi “Jalur Mandiri” yang pakai “Uang Pangkal” (IPI) yang bisa tembus puluhan, bahkan ratusan juta.
-
“Beasiswa” PTS = Gede-gedean: Di sisi lain, PTS top itu “jor-joran” kasih beasiswa buat narik bibit unggul. Ada beasiswa rapor, beasiswa tes, beasiswa prestasi. Bahkan, nggak jarang mereka kasih potongan 50% sampai 100% uang pangkal/semester.
Wawasan: Skenario: Lo gagal SNBP/SNBT di PTN A (tapi nilai lo bagus).
-
Opsi 1 (Maksa): Ikut Mandiri PTN A. Kena UKT Rp 20 Juta/semester + Uang Pangkal Rp 50 Juta.
-
Opsi 2 (Cerdas): Daftar PTS B. Pakai nilai rapor/tes, lo dapet “Beasiswa Prestasi” potongan 50%. Ternyata, biayanya jadi cuma Rp 15 Juta/semester + Uang Pangkal Rp 25 Juta.
Lihat? Mitos “PTN pasti murah, PTS pasti mahal” itu SALAH BESAR.
Jadi, Kapan Sebaiknya Memilih PTS (Secara Strategis)?
PTS itu bukan “pelarian”, bray. Ini adalah pilihan strategis kalau lo masuk 3 skenario ini:
Skenario 1: Lo Mengejar Jurusan Modern & Praktis
Lo mau jadi Data Scientist, Game Developer, UI/UX Designer, Digital Marketer, atau Event Manager?
Jujur aja, PTN itu “raksasa” yang birokrasinya kaku. Bikin kurikulum baru itu butuh waktu bertahun-tahun. Sementara itu, PTS (kayak Binus, Telkom University, UMN, Prasetiya Mulya) jauh lebih lincah.
Keunggulan PTS di sini:
-
Kurikulum “Link and Match”: Kurikulum mereka “dipesan” langsung sama industri. Lo belajar hal yang beneran dipakai di dunia kerja.
-
Dosen Praktisi: Yang ngajar bukan cuma profesor teori, tapi Manajer Marketing Shopee atau Head of UX Gojek yang pulang ngantor langsung ngajar.
-
Fasilitas Gokil: Karena mereka profit-oriented, fasilitas mereka jor-joran. Lo mau jadi animator? Lo dapet Mac Lab terbaru. Lo mau jadi anak film? Lo dapet studio green screen standar industri.
Skenario 2: Lo Mengincar “Jaminan” Koneksi & Magang
Ini value terbesar PTS top, bray.
PTN: Lo harus survive sendiri nyari magang, networking, dan koneksi. PTS (Top): Lo “disuapin” koneksi.
Contoh Paling Gampang:
-
Program 3+1 Binus: Ini legendaris. Lo 3 tahun kuliah, tapi 1 tahun WAJIB magang (atau riset/bisnis). Artinya, pas lo wisuda, lo udah punya 1 tahun pengalaman kerja. CV lo auto-glowing.
-
Koneksi Korporat: PTS kayak Telkom University (di bawah Telkom Group) atau Prasetiya Mulya (didirikan oleh bos-bos Astra, Indofood, dll.) punya “link” langsung ke perusahaan-perusahaan raksasa itu.
Skenario 3: Gagal PTN, Tapi Nggak Mau “Salah Jurusan”
Ini skenario paling umum. Lo gagal SNBT di PTN A jurusan “Ilmu Komputer”. Lalu, satu-satunya cara masuk PTN adalah lewat Jalur Mandiri di PTN B, tapi di jurusan “Sastra Jawa” (yang lo nggak suka sama sekali).
Plis, JANGAN.
Wawasan: Jauh lebih baik lo kuliah di PTS Bagus (misal: Binus/Tel-U) di jurusan Ilmu Komputer (sesuai passion lo), daripada lo maksa kuliah di PTN Top tapi di jurusan Sastra Jawa (yang lo benci).
Ingat: Perusahaan merekrut berdasarkan JURUSAN (skill) lo, bukan cuma gengsi NAMA almamater lo.
Penutup: PTN atau PTS? Pilih yang Bikin Lo “Jadi Sesuatu”
Bray, perang PTS vs PTN itu udah usang. Udah nggak zaman lagi nge-rank orang berdasarkan almamaternya.
Pada akhirnya, “kampus terbaik” itu sifatnya personal.
-
Kalau lo mau jadi peneliti, akademisi, dokter, atau ahli hukum murni, maka PTN mungkin masih jadi pilihan terbaik karena tradisi risetnya yang kuat.
-
Tapi, kalau lo mau jadi praktisi digital, entrepreneur, atau profesional korporat yang siap tempur, maka PTS top seringkali jadi “jalan tol” yang lebih cepat dan lebih relevan.
Jadi, jangan pilih kampus cuma karena “gengsi” di mata tetangga. Sebaliknya, pilih kampus (entah itu PTN atau PTS) yang punya kurikulum, fasilitas, dan koneksi terbaik untuk jurusan yang beneran lo cintai.
AGEN BOLA TERPERCAYA DEWAGG
Daftar disini >> syrosmap.com
