bimus.ac.id – Kita semua tahu Indonesia lagi jadi “pabrik” startup keren. Setiap hari, kita dengar nama Nadiem Makarim (Gojek), William Tanuwijaya (Tokopedia), Achmad Zaky (Bukalapak), dan Ferry Unardi (Traveloka). Bisa dibilang, mereka adalah pahlawan ekonomi digital.
Tapi, pernah nggak sih lo kepo, bray: Mereka itu dulu kuliah di mana?
Apa ada “pola” tertentu? Misalnya, apa ada satu kampus yang emang jadi “kawah candradimuka” para founder hebat ini? Apakah harus lulusan UI, UGM, dan ITB? Atau justru harus lulusan luar negeri?
Nah, kita coba bedah almamater para bos startup unicorn & decacorn paling top di Indonesia. Jawabannya… ternyata menarik banget. Faktanya, ada dua “jalur” utama!

Jalur 1: “Geng Harvard” – Lulusan Top Luar Negeri
Jalur pertama ini diisi oleh para founder yang punya privilege pendidikan kelas dunia, seringkali di Amerika Serikat. Umumnya, pola mereka adalah S1 di kampus top, lalu S2 (MBA) di kampus elit sekelas Ivy League.
1. Nadiem Makarim (Gojek)
- Almamater: S1 Hubungan Internasional di Brown University (AS) + S2 (MBA) di Harvard Business School (AS).
- Analisis: Nadiem adalah contoh buku teks. Menariknya, ide Gojek justru lahir setelah dia selesai S2 di Harvard dan balik ke Indonesia. Exposure global, networking kelas kakap,
dan mindset bisnis terstruktur dari Harvard jelas jadi modal utamanya.
2. Ferry Unardi (Traveloka)
- Almamater: S1 Computer Science di Purdue University (AS) + S2 (MBA) di Harvard Business School (AS).
- Analisis: Polanya nyaris sama kayak Nadiem! Bedanya, Ferry punya pondasi tech (Computer Science) yang kuat dari S1-nya. Meskipun begitu, dia drop out dari Harvard buat ngebangun Traveloka, tapi mindset Harvard-nya udah keburu nempel.
3. Jevon Hiu & Tim (Ajaib)
- Almamater (Founder-nya): Stanford Graduate School of Business (AS), University of Southern California (USC) (AS).
- Analisis: Lagi-lagi, kampus top Amrik, terutama sekolah bisnis elit (MBA). Oleh karena itu, mereka melihat celah di dunia investasi Indonesia dengan kacamata yang udah diasah di Silicon Valley.
Kesimpulan Jalur 1: Geng ini biasanya punya modal networking dan mindset bisnis global yang kuat banget. Singkatnya, mereka “pulang” ke Indonesia bawa ilmu dari kampus terbaik dunia.
Jalur 2: “Jalur Perjuangan” – Geng Engineer Lokal
Ini adalah jalur yang paling inspiratif. Sejujurnya, geng ini adalah bukti nyata bahwa lo nggak harus lulusan Harvard buat bikin perusahaan triliunan. Mereka adalah produk murni dari kampus-kampus top di Indonesia.
1. William Tanuwijaya (Tokopedia)
- Almamater: S1 Teknik Informatika di Universitas Bina Nusantara (Binus).
- Analisis: Ini dia sang legenda. William adalah bukti hidup bahwa S1 dari kampus lokal (walaupun swasta elit) bisa! Apalagi, dia full berjuang dari bawah. Dia adalah engineer yang melihat masalah (jual-beli online nggak aman) dan bikin solusinya pakai coding.
2. Achmad Zaky (Bukalapak)
- Almamater: S1 Teknik Informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB).
- Analisis: Sama kayak William, Zaky adalah engineer tulen. Dia adalah anak ITB yang jago ngoding dan bikin Bukalapak dari garasi (atau kamar kos). Ini bukti bahwa “anak teknik” ITB nggak cuma jago teori, tapi jago eksekusi bisnis.
3. Founder Xendit (Lulusan UI)
- Almamater: Walaupun founder utamanya (Moses Lo) dari Australia, tim inti developer awal Xendit banyak diisi oleh lulusan Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Indonesia (UI).
- Analisis: Ini menunjukkan bahwa Fasilkom UI adalah salah satu “pabrik” software engineer terbaik di negara ini.
Jadi, Kampus Mana yang ‘Paling Jago’?
Dari data di atas, kita bisa lihat pola yang jelas banget, bray:
- Nggak Ada 1 Kampus ‘Pencetak’ CEO. Ternyata, nggak ada satu nama yang dominan banget. Yang ada adalah “tipe” kampus.
- Perang “Engineer” vs “MBA”. Jalur founder Indonesia itu terbelah dua: Lulusan MBA Luar Negeri (Nadiem, Ferry) yang jago bisnis, atau Lulusan IT Lokal (William, Zaky) yang jago ngoding.
- ITB & Binus Bersinar Terang. Khusus untuk jalur tech engineer lokal, nama ITB dan Binus justru lebih “bersinar” di angkatan unicorn pertama dibanding UI atau UGM (yang mungkin lebih kuat di korporat/pemerintahan).
Penutup: Almamater Penting, tapi Mindset Jauh Lebih Penting!
Punya almamater Harvard, Stanford, ITB, atau Binus itu jelas sebuah privilege. Tentu saja, lo dapat ilmu, prestige, dan yang paling penting, networking (jaringan).
Tapi, pada akhirnya, almamater itu cuma pembuka gerbang.
Sebagai contoh, William Tanuwijaya (lulusan Binus) ngebuktiin lo nggak harus lulusan Ivy League buat ngebangun decacorn (perusahaan 10 miliar dolar). Selain itu, Achmad Zaky (lulusan ITB) ngebuktiin anak daerah yang jago ngoding bisa mengubah nasib UKM se-Indonesia.
Almamater lo penting, bray. Namun, mindset lo, keberanian lo buat eksekusi, dan kegigihan lo pas gagal… itu jauh lebih penting.
Jadi, lo boleh bangga sama almamater lo, tapi jangan berhenti di situ. Siapa tahu, 10 tahun lagi, nama lo dan almamater lo yang bakal ada di artikel kayak gini.
